Tasikmalaya – Tujuh perkara dugaan money politic yang ditangani sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) Kota Tasikmalaya akhirnya kandas.
Tujuh perkara dugaan politik uang yang terjadi di Pilwalkot Tasikmalaya itu, secara resmi dinyatakan tak bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Penanganan dihentikan karena berdasarkan hasil pembahasan tahap 2 di Sentra Gakkumdu, semua perkara itu tidak cukup bukti.
Hal itu diungkapkan Koordinator Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran, Rida Pahlevi dalam pers rilis di kantor Bawaslu Kota Tasikmalaya, Jumat (20/12/2024) sore. Pada kesempatan itu hadir pula unsur kejaksaan dan kepolisian yang menjadi bagian dari Sentra Gakkumdu.
“Kesimpulan kami bahwa dalam proses penanganan pelanggaran pemilihan, Sentra Gakkumdu harus memperoleh minimal dua alat bukti untuk meningkatkan ke tahap penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 serta Pasal 20 Peraturan Bersama Ketua Bawaslu RI, Kapolri dan Jaksa
Agung RI tentang Sentra Gakkumdu Pilkada, maka dugaan pelanggaran tersebut tidak dapat ditingkat ke tahap penyidikan,” kata Rida.
Salah satu dari tujuh dugaan politik uang di Pilwalkot Tasikmalaya yang ditangani adalah kasus di Kampung Sukajaya Kelurahan Linggajaya Kecamatan Mangkubumi.
Kasus ini merupakan temuan Bawaslu yang mengindikasikan terjadi politik uang yang melibatkan paslon nomor 4. Dugaan awal terjadi pembagian uang tunai Rp 90 ribu dan 2 kilogram beras.
Pemberi dan penerima menjadi terlapor dalam perkara ini. Tapi saat diperiksa, penerima mengaku pemberian uang dan beras itu sudah biasa terjadi sebagai sedekah dari pemberi.
“Setelah dilakukan proses kajian dan klarifikasi, terlapor mengaku menerima uang dan beras, namun itu kebiasaan memberikan sedekah. Selain itu tidak ditemukan adanya ajakan atau arahan agar memilih paslon nomor urut 4,” kata Rida.
Kejadian serupa juga terjadi pada kasus politik uang yang lain. Kekurangan alat bukti menjadi masalah sehingga penindakan hukum tak bisa dilanjutkan.
Ahmad Sidik, anggota Gakkumdu dari unsur Kejaksaan mengakui bahwa dalam konteks penegakan hukum politik uang, pihaknya menemui banyak kendala.
Yang pertama soal tenggat waktu penanganan yang dibatasi maksimal 7 hari.
“Penanganan laporan maupun temuan itu, kita diberikan waktu 5 hari, ditambah 2 hari. Itu menjadi salah satu kendala,” kata Sidik.
Hal lain yang jadi kendala adalah pada tahap klarifikasi para penegak hukum ini tak memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa. Karena tahap klarifikasi serupa dengan tahap penyelidikan. Sehingga pihak terlappr atau pihak terkait memungkinkan untuk mangkir saat diminta keterangan.
“Ditahap klarifikasi itu masuknya penyelidikan, yang namanya penyelidikan dalam KUHAP itu tidak ada upaya paksa. Beda dengan penyidikan,” kata Sidik.
“Contohnya kemarin ketika orang dipanggil tidak hadir, kita tak bisa melakukan upaya paksa. Meski begitu kita lakukan jemput bola, tapi yang terjadi malah penolakan,” imbuh Sidik.
Kendala lain yang dihadapi adalah soal aturan bahwa penerima politik uang pun bisa terjerat pidana. Hal ini semakin menyulitkan aparat untuk mengungkap, karena justru membuat penerima bisa dengan mudah digemboai atau ditakut-takuti.
“Beda UU Pemilu dan UU Pilkada, kalau di UU Pemilu si penerima tidak kena pidana, kalau di UU Pilkada si penerima kena pidana. Jadi saksi penerima dengan mudah digembosi pihak tertentu, dikatakan kamu juga akan kena pidana, ya langsung mereka mencabut keterangannya, tak mau bersaksi lagi,” papar Sidik.
Selain itu soal aturan minimal 2 alat bukti agar perkara bisa naik ke tahap penyidikan juga tak kalah menyulitkan.
“Dalam Pasal 20 ayat 2 di Peraturan Bersama, ketika Sentra Gakkumdu melakukan kajian atas laporan atau temuan itu, harus minimal 2 alat bukti, baru bisa masuk penyidikan. Satu orang saksi itu bukan alat bukti,” kata Sidik.
Terkait beragam kendala pengungkapan kasus politik uang itu, Sidik mengaku tidak dalam kapasitas untuk mengomentari. Sidik menegaskan, Gakkumdu hanya sebatas menjalankan aturan.
“Itulah kendala yang kami alami, tentu bukan kapasitas kami untuk mempertanyakan mengapa aturannya seperti itu. Yang jelas kami telah maksimalkan menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang ada,” kata Sidik.