Bandung – Komnas Perempuan menerima laporan sebanyak 2.700 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024. Sementara itu, WCC Mawar Balqis menyoroti kendala korban dalam mengakses informasi terkait perkembangan kasus mereka ke aparat penegak hukum.
Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad memaparkan angka kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Ia menyebut, pada tahun 2023 angka kekerasan terhadap perempuan secara keseluruhan tercatat sebanyak 288.111 kasus.
“Ini dihimpun dari berbagai lembaga, termasuk pengaduan langsung ke Komnas Perempuan. Sementara untuk kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan dan sudah diverifikasi bahwa ini adalah kasus kekerasan berbasis gender, itu ada 3.303 sepanjang tahun 2023,” kata Bahrul Fuad saat membuka diskusi dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Kota Cirebon, Jumat (13/12/2024).
“Ini yang diadukan, yang korbannya berani melapor. Masih banyak korban, perempuan-perempuan yang tidak melapor, tidak berani mengadu. Sehingga angkanya bisa jadi lebih besar dari pada angka yang diadukan. Orang menyebutnya sebagai fenomena gunung es,” sambung Bahrul.
Menurut Bahrul, dari ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang terjadi pada tahun 2023, mayoritas adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
“Angka yang paling tinggi dari sekian angka yang tadi saya sebutkan tadi, itu 90 persennya adalah KDRT, kekerasan dalam rumah tangga,” ucap Bahrul.
Sedangkan di tahun 2024 ini, Komnas Perempuan belum dapat memaparkan secara keseluruhan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan. Namun, untuk kasus diadukan langsung ke Komnas Perempuan, sejauh ini tercatat sudah ada sekitar 2.700 kasus.
“Data kasus di tahun 2024 kami akan luncurkan di bulan Maret 2024. Karena kita belum sampai Desember. Tapi kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan, kemarin saya lihat dari tim data, itu ada sekitar 2.700-an. Tapi kan kami belum menghimpun dari beberapa lembaga yang lain,” kata Bahrul.
Ia menuturkan, ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan di tahun ini terdiri dari tiga ranah, yakni ranah domestik, ranah publik dan ranah negara.
“Kalau kita melihat ranah, masih tiga. Ada ranah domestik itu yang paling tinggi atau kekerasan di ranah rumah tangga. Kemudian kekerasan di ranah publik atau di tempat umum, itu nomor dua. Kemudian ada kekerasan di ranah negara. Kekerasan di ranah negara ini adalah kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh aparatur negara atau sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan negara terhadap perempuan,” terang Bahrul.
Lebih lanjut, Bahrul pun mengungkap beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan berdasarkan data kasus yang tercatat di Komnas Perempuan. Di antaranya yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
“Adapun bentuk kekerasannya ada empat. Mana yang lebih besar? Nanti kita lihat. Kalau di tahun 2023 kemarin, yang paling tinggi kekerasan fisik terhadap perempuan, yang kedua kekerasan seksual,” kata Bahrul.
“Kalau Komnas Perempuan melihat trennya dari pemberitaan, ini angka kasus kekerasan seksual, kemudian kekerasan terhadap perempuan ini tidak menurun. Bahkan naik kecenderungannya,” kata dia menambahkan.
Sementara itu, Luthfiyah Handayani dari WCC Mawar Balqis menyoroti terkait hak-hak korban kekerasan yang belum terpenuhi dengan baik. Terutama hak korban untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus yang mereka laporkan ke pihak kepolisian.
“Di sini tantangannya untuk pemenuhan hak-hak korban ini di antaranya ada di layanan hukum. Karena biasanya teman-teman APH (aparat penegak hukum) punya prosedur tersendiri. Meskipun sudah zamannya keterbukaan informasi publik, tapi masih ada saja porses penyelesaian hukum yang masih sulit diakses. Misalnya status kasusnya sudah sampai mana,” kata Luthfiyah.
“Saya belum melihat atau mendengar adanya aplikasi dari pihak kepolisian yang bisa mengakses status kasus. Kalau di PN (Pengadilan Negeri) kan ada di websitenya. Ini mungkin bisa menjadi rekomendasi untuk pihak kepolisian,” kata dia menambahkan.
Sedangkan terkait layanan kesehatan, Luthfiyah menyebut di Kabupaten Cirebon saat ini sudah ada beberapa rumah sakit serta Puskesmas yang menyediakan layanan konseling dan dapat diakses oleh korban kekerasan.
“Untuk layanan kesehatannya, kalau di Kabupaten Cirebon layanan konseling itu ada di RSUD Arjawinangun dan Waled. Dan di lima Puskesmas, yaitu di Beber, Plered, Losari dan beberapa puskesmas lain,” kata dia.