Bandung – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap penyebab ‘keangkeran’ KM 100 sampai Km 90 arah Jakarta, Tol Cipularang.
Terbaru kecelakaan yang terjadi di 22 November 2024, yang menelan dua korban jiwa dan enam lainnya luka-luka. Kecelakaan itu terjadi di KM 95.400, tepatnya di Darangdan, Kabupaten Purwakarta. Sebelumnya juga terjadi kecelakaan beruntun yang melibatkan belasan kendaraan di KM 92.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono, mengatakan pihaknya telah melakukan tinjauan langsung di Tol Cipularang. Menurutnya, Tol Cipularang arah Jakarta dari Km 100 sampai Km 90 memang lebih banyak turunan panjang. Hingga
“Ini hasil detail dari jalan tol kita cek di beberapa tempat memang ternyata kelandaiannya atau kemiringannya sekitar 5 sampai 8 persen. Dan ini sesuai dengan aturan tahun 97 bahwa untuk kecepatan 60 km/jam diizinkan sampai 8 persen. Tapi untuk aturan yang baru (maksimal kemiringannya) 5 persen. Nanti ini berkaitan dengan masalah berapa kecepatan minimum yang diizinkan untuk kendaraan besar di sana,” kata Soerjanto di DPR belum lama ini.
Drainase dan Genangan Air
Soerjanto menyoroti masalah drainase di beberapa titik Tol Cipularang tersebut. Menurutnya, masalah pada drainase yang membuat air menggenang di aspal dapat membahayakan pengendara.
“Di KM 95 di sisi dalam di median jalan terdapat drainase, tapi hanya di beberapa tempat. Di (kilometer) 94 sampai 94 +400 tidak tersedia drainase di median jalan. Di mana jalan menikung ke kanan superelevasinya adalah 8 persen ke kanan, sehingga ketika hujan airnya akan berkumpul di kanan. Dan ini akan menyebabkan masalah aquaplanning atau hydroplanning. Bahu di luar terdapat drainase tapi bahu dalam tidak dapat drainase, tapi secara peraturan harusnya ada drainase untuk membuang limpahan yang mengarah ke kanan,” jelasnya.
Selain itu, ada juga temuan tinggi bahu jalan terhadap tanah sisi luar yang beda level. Dengan ketinggian yang berbeda antara bahu jalan dengan tanah, maka dapat membahayakan pengendara.
“Ini masalah tinggi bahu jalan terhadap sisi luar dari tanah yang sesuai dengan aturan harusnya rata. Kemarin kita tinjau bareng-bareng dengan Komisi V harusnya perbedaannya maksimal 5 cm, tapi di sini kita lihat sekitar 30-40 cm. Ini membahayakan ketika mobil tidak sengaja keluar dari bahu jalan akan bisa terguling,” ujarnya.
Jalur Keselamatan
Jalur penghentian darurat di KM 92+600 pun menjadi sorotan. Menurut Soerjanto, jalur penghentian darurat di sana belum memenuhi unsur keselamatan.
“Ini jalur penghentian darurat di KM 92+600 yang memang sesuai PM Perhubungan No. 48, tapi sudut (masuk)-nya terlalu tajam sehingga ketika terjadi kondisi darurat untuk kendaraan besar tidak memungkinkan bisa masuk kendaraan tersebut. Kami mengusulkan untuk sesuai dengan SE Dirjen PUPR maksimum sudut masuknya 5 derajat, seperti yang warna kuning (di gambar) Sehingga mudah untuk masuk. Dan isi dari jalur penghentian darurat itu harusnya dari gravel tidak dengan pasir atau dengan tanah,” bebernya.
Guardrail Tak Sesuai Standar
Soerjanto juga melihat guardrail di KM 92+600 yang tidak sesuai standar. Sebab, guardrail itu langsung tersambung dengan beton. “Harusnya terdapat transisi antara beton dan guardrail, tapi di sini tidak ada transisinya,” katanya.
Kemudian terdapat crash cusion atau semacam bantalan benturan di jalur penghentian darurat. Namun, menurutnya, crash cusion itu terlalu menonjol sehingga sangat membahayakan.
“Terus kemudian lajur layanan (aspal di jalur penghentian darurat) sebaiknya di sebelah kiri, karena kecenderungan mobil dalam kondisi darurat akan memepet ke kanan sehingga kalau seperti ini akan membahayakan, akan naik jalur layanan, tidak masuk ke jalur penyelamatnya,” katanya.
Kemudian masalah perlengkapan jalan. Di sana tertulis ada rambu kurangi kecepatan 60 km/jam dengan sudut penurunan sekitar 5-8 persen.
“Ini untuk kendaraan besar akan berbahaya, meskipun tidak overload juga akan berbahaya. Dan ini juga harus dievakuasi sebaiknya kecepatannya berapa yang aman untuk di daerah ini,” katanya.
Rambu-rambu yang Membuat Pengemudi Kebingungan
Rambu-rambu menjelang jalur penghentian darurat pun bisa bikin pengemudi kebingungan. Sebab, ada rambu yang bertumpuk sehingga pengemudi tidak memahami adanya jalur penghentian darurat.
“Satu km sebelum jalur darurat ini ada beberapa tanda, termasuk tanda-tanda ini sebetulnya tidak perlu ada di sini seperti jarak aman, titik awal, di sini ada kamera, batas kecepatan 80 km/jam. Sebaiknya kalau sudah jalur darurat ya tandanya khusus untuk jalur darurat sehingga tidak membingungkan pengemudi mana tanda yang harus diikuti. Dan (rambu) jalur darurat ini sesuai dengan SE PUPR harusnya background-nya kuning,” katanya.
Lebih lanjut, ada beberapa lokasi yang dilengkapi dengan rumble strip atau semacam garis kejut. Untuk kendaraan tertentu, garis kejut itu bahkan bisa menyebabkan kecelakaan.
“Mobil dengan teknologi ABS, justru ketika melewati di daerah sini akan tidak bisa ngerem malahan. Dan ketika melewati rumblestrip ini ketika suspensinya tidak baik juga akan menimbulkan masalah bisa mengalami selip,” ujarnya.
Sementara itu, di Km 97 ada rest area tipe A. Namun, menurut Soerjanto, rest area tersebut belum memenuhi unsur keselamatan,
“Di mana untuk kendaraan besar radius tikungnya terlalu tajam dan kapasitasnya untuk kendaraan besar cuma 8 unit. Sementara sesuai dengan Permen PUPR Nomor 28 harusnya minimum 50 unit, artinya ini tidak sesuai dengan peraturan yang ada,” ucapnya.